Minggu, 27 Mei 2012

“Demokrasi Terpimpin Soekarno dan Gaya Kepemimpinanya”

TUGAS SISTEM POLITIK INDONESIA
“Demokrasi Terpimpin
Soekarno dan Gaya Kepemimpinanya”


Oleh :
Angger Cahyaning Tyas Asih  (20110510223)
Kelas C


Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Hubungan Internasional
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2012



BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar belakang
Pada periode pemerintahan Indonesia tahun 1959-1965 kekuasaan didominasi oleh Presiden, terbatasnya peranan partai politik, berkembangnya pengaruh komunis dan makin meluasnya peranan TNI/Polri sebagai unsure sosial poltik. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dapat dipandang sebagai suatu usaha untuk mencari jalan keluar dari kemacetan politik dengan melalui pembentukan kepemimpinan yang kuat.
Pada masa demokrasi terpimpin banyak terjadi penyelewengan terhadap Pancasila dan UUD 1945 antara lain pembentukan Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis), Tap. MPRS No. III/MPRS/1963 tentang Pengangkatan Soekarno sebagai Presiden Seumur Hidup, pembubaran DPR hasil pemilu oleh Presiden, pengangkatan ketua DPRGR/MPRS menjadi menteri negara oleh Presiden dan sebagainya. Dalam demokrasi terpimpin, apabila tidak terjadi mufakat dalam sidang DPR, maka permasalahan itu diserahkan kepada Presiden sebagai pemimpin besar revolusi untuk diputuskan sendiri (lihat Peraturan Tata Tertib Peraturan Presiden No. 14 Tahun 1960 dalam hal anggota DPR tidak mencapai mufakat). Dengan demikian, rak¬-yat/wakil rakyat yang duduk dalam lembaga legislative tidak mempunyai peranan yang penting dalam pelaksanaan demokrasi terpimpin. Akhirnya, pemerintahan Orde Lama beserta demokrasi terpimpinnya jatuh setelah terjadinya peristiwa G-30-S/PKI 1965 dengan diikuti krisis ekonomi yang cukup parah.
Namun secara konseptual, demokrasi terpimpin memiliki kelebihan yang dapat mengatasi permasalahan yang dihadapi masyarakat. Hal itu dapat dilihat dari ungkapan Presiden Soekarno ketika memberi amanat kepada konstituante pada tanggal 22 April 1959 tentang pokok-pokok demokrasi terpimpin.



B.    Rumusan Masalah
1.     Mengapa gaya kepemimpinan demokrasi terpimpin cenderung otoriter?






















BAB II
KERANGKA TEORI

A.   DEMOKRASI TERPIMPIN INDONESIA
Sejarah Indonesia (1959-1966) adalah masa di mana sistem "Demokrasi Terpimpin" sempat berjalan di Indonesia. Demokrasi terpimpin adalah sebuah sistem demokrasi dimana seluruh keputusan serta pemikiran berpusat pada pemimpin negara, yang kala itu Presiden Soekarno.
 Gagalnya usaha untuk kembali ke UUD 1945 dengan melalui Konstituante dan rentetan peristiwa-peristiwa politik yang mencapai klimaksnya dalam bulan Juni 1959, akhirnya mendorong Presiden Soekarno untuk sampai kepada kesimpulan bahwa telah muncul suatu keadaan kacau yang membahayakan kehidupan negara. Atas kesimpulannya tersebut, Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959, dalam suatu acara resmi di Istana Merdeka, mengumumkan Dekrit Presiden mengenai pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 dalam kerangka sebuah sistem demokrasi yakni Demokrasi Terpimpin.
Namun kekuatan dekrit tersebut bukan hanya berasal dari sambutan yang hangat dari sebagian besar rakyat Indonesia, tetapi terletak dalam dukungan yang diberikan oleh unsur-unsur penting negara lainnya, seperti Mahkamah Agung dan KSAD. Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden, Kabinet Djuanda dibubarkan dan pada tanggal 9 Juli 1959, diganti dengan Kabinet Kerja. Dalam kabinet tersebut Presiden Soekarno bertindak sebagai perdana menteri, sedangkan Ir. Djuanda bertindak sebagai menteri pertama.
Pada kenyataannya demokrasi terpimpin tidak sejalan dengan konseptualnya, sehingga banyak menyimpang dari nilai-nilai pancasila, UUD 1945 dan budaya bangsa. Penyebab penyelewengan tersebut bukan hanya ada pada pihak presiden yang diktator dan otoriter, namun juga karena kelemahan legislatif sebagai partner dan pengontrol eksekutif, serta situasi politik yang tidak menentu saat itu.

BAB III
HIPOTESIS DAN PEMBAHASAN

Setelah dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Indonesia jatuh pada masa demokrasi terpimpin. Dalam demokrasi terpimpin Soekarno bertindak seperti seorang diktator, hampir semua kekuasaan negara baik eksekutif, legislatif dan yudikatif berada pada kekuasaannya. Sutan Takdir Alisyahbana menyamakan Soekarno dengan raja-raja kuno yang mengklaim dirinya sebagai inkarnasi tuhan atau wakil tuhan di dunia.
Dekrit tersebut dapat dipandang sebagai suatu usaha untuk mencari jalan keluar dari kemacetan politik melalui pembentukan kepemimpinan yang kuat. Undang-Undang Dasar 1945 membuka kesempatan bagi seorang presiden untuk bertahan selama sekurang-kurangnya lima tahun. Akan tetapi ketetapan MPRS No. III/1963 yang mengangkat Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup telah membatalkan pembatasan waktu lima tahun ini. Selain itu banyak lagi tindakan yang menyimpang dari ketentuan Undang-Undang Dasar.
Misalnya dalam tahun 1960 Ir. Soekarno sebagai Prseiden membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat hasil Pemilihan Umum, padahal dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 secara eksplisit ditentukan bahwa presiden tidak mempunyai wewenang untuk berbuat demikian. Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong yang mengganti Dewan Perwakilan Rakyat pilihan ditonjolkan peranannya sebagai pembantu pemerintah sedangkan fungsi kontrol di tiadakan. Lagipula pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dijadikan menteri dan dengan demikian ditekankan fungsi mereka sebagai pembantu presiden disamping fungsi sebagai sebagai wakil rakyat. Hal terakhir ini mencerminkan telah ditinggalkannya doktrin trias politica. Dalam rangka ini harus pula dilihat beberapa ketentuan lain yang memberi wewenang kepada presiden sebagai badan eksekutif. Misalnya presiden diberi wewenang untuk campur tangan di bidang yudikatif berdasarkan Undang-Undang No. 19/1964 dan di bidang legislatif berdasarkan Peraturan Tata Tertib Peraturan Presiden No. 14/1960 dalam hal anggota Dewan Perwakilan Rakyat tidak mencapai mufakat.
Hal tersebut kemudian menjadikan kaburnya batas-batas wewenang antara badan eksekutif dan legislatif, keduanya seolah-olah dirangkap oleh presiden. Akibatnya fungsi dan peranan MPRS dan DPR-GR hilang. Apalagi pada waktu itu menteri-menteri diperbolehkan menjabat sebagai ketua MPRS, DPR-GR, DPA dan MA.
MPRS dan DPR-GR yang seharusnya menjadi lembaga perwakilan rakyat yang bertugas sebagai lembaga negara yang mengawasi jalannya pemerintahan pada akhirnya tunduk kepada kebijaksanaan-kebijaksanaan presiden.
Demokrasi terpimpin ialah hypen pendek demokrasi yang tidak didasarkan atas paham liberalisme, sosialisme-nasional, facisme, dan komunisme, tetapi suatu faham demokrasi yang didasarkan keinginan-keinginan luhur bangsa Indonesia seperti yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945, menuju satu tujuan yaitu mencapai masyarakat adil dan makmur yang penuh dengan kebahagiaan material dan spiritual sesuai dengan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945.
Akan tetapi dalam prakteknya, apa yang dinamakan dengan demokrasi terpimpin yang mempunyai tujuan yang luhur ini tidak pernah dilaksanakan secara konsekuen. Sebaliknya sistem ini sangat jauh dan menyimpang dari arti yang sebenarnya. Dalam prakteknya yang memimpin demokrasi ini bukan pancasila sebagaiman dicanangkan tetapi sang pemimpinnya sendiri. Akibatnya demokrasi yang dijalankan tidak lagi berdasarkan keinginan luhur bangsa Indonesia tetapi berdasarkan keinginan-keinginan atau ambisi-ambisi politik pemimpinnya sendiri.
Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi telah membawa jalannya pemerintahan jauh dari mekanisme yang ditetapkan dalam UUD 145. kondisi ini diperburuk dengan merosotnya keadaan ekonomi negara. Sebagai akibatnya, keadaan politik dan keamanan sudah sangat membahayakan keselamatan negara. Situasi ini dimanfaatkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan mengadakan pemberontakan pada tanggal 30 September 1965. tujuan utama pemberontakan ialah untuk mengganti falsafah pancasila dengan falsafah lain.



 
BAB IV
KRITIK DAN SARAN

A.      KRITIK
Melihat era Demokrasi Terpimpin dalam cengkraman diktator dan otoriter sang Presiden sangat tidak sejalan dengan konseptualisasi demokrasi terpimpin. Dalam segi kepemimpinan beliau kurang adanya interaksi atau masukan berupa input terhadap lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Hal itu yang menjadikan beliau terkesan otoriter dan diktator dalam segi outputnya. Yang mana dalam sistem politik antara input dan output haruslah seimbang.
B.     SARAN
Pada dasarnya soekarno memiliki karisma dan daya pemgaruh yang tinggi dan beliau juga mempunyai kemampuan regulatif yang baik. Seharusnya, beliau bisa lebih bijaksana dalam mengambil keputusan untuk di musyawarahkan kepada para lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif.









REFERENSI
·        Affan Gaffar, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000.


0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites